Hindari Self Diagnosis, Mari Kenali Gejala Depresi

Depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai. Depresi adalah suatu kondisi seseorang merasa sedih, kecewa saat mengalami suatu perubahan, kehilangan, kegagalan dan menjadi patologis ketika tidak mampu beradaptasi (A. K. Townsend et al., 2009). Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah 2 minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga. Studi terbaru menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental, khususnya depresi, merupakan penyebab terbesar dari beban penyakit di antara individu pada usia awal (WHO, 2016). Depresi adalah bagian dari penyakit mental yang sangat serius di dunia. Dampak negatif yang muncul akibat depresi seperti sulit berkonsentrasi, terbatasanya interaksi sosial, tergangunya penyesuaian diri bahkan munculnya resiko bunuh diri, membuat masalah ini perlu penanganan serius (Nevid, & taylor, et al. 2006). Lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia mengalami gangguan depresi. Satu dari empat wanita dan satu dari dari enam pria mengalami depresi selama hidup mereka, 65% memiliki episode berulang dari gangguan tersebut, sehingga depresi menjadi penyebab utama penyakit secara global (Walker, McGee, & Druss, 2015).

Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi, antara lain:

  1. Faktor Organobiologik

Penurunan norefineprin, dopamine dan serotonin berpengaruh terhadap kejadian depresi. Hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada control regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan.

  • Faktor Genetik

Pengaruh faktor genetik terhadapat depresi sangat kompleks karena dipengaruhi juga oleh factor psikososial dan lainnya. Kemungkinan menderita akan menurun jika derajat hubungan keluarga melebar. 

  • Faktor Psikososial

Faktor psikososial dpaat dikatakan penyebab awal gangguan depresi. Biasanya diawali oleh stress yang dapat mengakibatkan perubahan biologi otak yang dapat bertahan lama. Hubungan yang efektif antara seorang individu dengan lingkungannya akan mengurangi resiko kekambuhan.

  • Faktor Kepribadian

Semua pola kepribadian memiliki resiko terjaidnya depresi. Namun untuk kepribadian obsesi kompulsi, histrionik, dan ambang lebih beresiko terkena depresi dibandingkan dengan kepribadian paranoid dan antisosial. Untuk gangguan kpribadian distimik dan siklomatik sering menimbulkan terjadinya depresi berat.

  • Faktor Psikodinamik

Timbulnya depresi dapat dikaitkan dengan teori self-psychology, dimana seseorang di masa kanak-kanak membutuhkan pemberian rasa aman dan kepercayaan diri dari orang tuanya dan jika hal ini tidak terpenuhi akan menyebabkan timbulnya depresi pada masa dewasa.

Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi, antara lain:

  1. Faktor Organobiologik

Penurunan norefineprin, dopamine dan serotonin berpengaruh terhadap kejadian depresi. Hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada control regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan.

  • Faktor Genetik

Pengaruh faktor genetik terhadapat depresi sangat kompleks karena dipengaruhi juga oleh factor psikososial dan lainnya. Kemungkinan menderita akan menurun jika derajat hubungan keluarga melebar. 

  • Faktor Psikososial

Faktor psikososial dpaat dikatakan penyebab awal gangguan depresi. Biasanya diawali oleh stress yang dapat mengakibatkan perubahan biologi otak yang dapat bertahan lama. Hubungan yang efektif antara seorang individu dengan lingkungannya akan mengurangi resiko kekambuhan.

  • Faktor Kepribadian

Semua pola kepribadian memiliki resiko terjaidnya depresi. Namun untuk kepribadian obsesi kompulsi, histrionik, dan ambang lebih beresiko terkena depresi dibandingkan dengan kepribadian paranoid dan antisosial. Untuk gangguan kpribadian distimik dan siklomatik sering menimbulkan terjadinya depresi berat.

  • Faktor Psikodinamik

Timbulnya depresi dapat dikaitkan dengan teori self-psychology, dimana seseorang di masa kanak-kanak membutuhkan pemberian rasa aman dan kepercayaan diri dari orang tuanya dan jika hal ini tidak terpenuhi akan menyebabkan timbulnya depresi pada masa dewasa.

KLASIFIKASI DEPRESI

  1. Episode Depresi Ringan

Pada depresi ringan, Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti di atas dan ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya. Seseorang hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

  • Episode Depresi Sedang

Pada depresi sedang, sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi  dan ditambah 3 dan sebaiknya 4 dari gejala lainnya. Seseorang biasanya menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.

  • Episode Depresi Berat

Episode depresi berat dibagi menjadi episode depresi tanpa dan dengan gejala psikotik.

  1. Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik

Pada epidose ini, 3 gejala utama depresi harus ada dan diitambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di antaranya harus berintensitas berat. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. Seseorang pada episode ini sangat tidak mungkin akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

  • Episode Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik

Pada episode ini gejala sama seperti depresi berat namun disertai dengan adanya waham, halusinasi ata stupor depresif. Waham biasanya yang mengancam dan membuat penderita merasa bertanggung jawab atas hal tersebut. Halusinasi berupa auditorik atau olfatorik yang biasanya menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk.

TERAPI DEPRESI

            Depresi harus segera ditangani untuk dapat memperbaiki kualitas hidup dan tidak sampai jatuh kepada episode depresi yang berat. Adapun penanganannya dapat dilakukan dengannon farmakologis dan farmakologis.

1. Terapi Non farmakologis

Terapi non farmakologi merupakan terapi tanpa menggunakan obat-obatan. Terapi ini kerap diberikan karena pemberian obat antidepresi kadangkala tidak langsung memberikan hasil yang optimal atau bahkan tidak memberikan hasil. Adapun yang termasuk dalam terapi non farmakologis, antara lain :

  1. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Terapi ini memperbaiki cara pandang pasien terhadap kehidupan ke arah yang lebih positif. Cara ini merupakan first line terapi untuk depresi ringan. Biasanya terapi ini tetap dilakukan dan merupakan upaya untuk mencegah tidak berulangnya kembali kejadian depresi.

  • Terapi interpersonal/Interpersonal therapy (IPT)

Psikoterapi dengan IPT umumnya berlangsung selama 16 sesi dan lebih mengutamakan hubungan interpersonal dan masalah personal.

  • Electro Convulsive Therapy (ECT)

Terapi ini disebut juga terapi listrik atau terapi kejut dan lebih diutamakan untuk pasien depresi kronik sedang atau berat yang tidak memberi respon pada penggunaan antidepressan.

  • Bright Light Therapy

Metode ini diperuntukkan bagi penderita SAD (Seasonal Affective Disorder) yaitu orang yang depresi akibat kegelapan terutama pada musim dingin.

  • Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTMS)

Metode ini diperuntukkan bagi pasien depressi yang resisten terhadap pengobatan yang standar dan terapi kejut.

2. Terapi Farmakologis

     Terapi farmakologis yaitu terapi dengan menggunakan obat-obatan anti depresi. Dalam hal ini, pasien harus melakukan konsultasi kepada dokter dan terutama psikiater. Keputusan menggunakan antidepressan didasarkan pada riwayat pasien terhadap respon obat, riwayat keluarga terhadap respon obat, sub tipe depresi, keadaan klinis pada saat tersebut, derajat keparahan, potensi terjadinya interaksi obat, efek samping serta biaya obat. Klasifikasi obat anti depresi  dibagi berdasarkan mekanisme kerjanya, antara lain :  SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), TCA (Tricyclic Antidepresants),  MAOI (Monoamine Oxidase Inhibitors), dan golongan lainnya.(faw)

Disarikan oleh dr. Friska Aristia Wijaya, S.Ked

Sumber:

DEPKES. RI. 2000. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III(PPDGJ-III). Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI.

Nevid, J. S., Greene, B., Johnson, P. A., & Taylor, S. (2005). Essentials of abnormal psychology

Townsend, A. K., Clark, A. B., McGowan, K. J., Buckles, E. L., Miller, A. D., & Lovette, I. J. (2009). Disease-mediated inbreeding depression in a large, open population of cooperative crows. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 276(1664), 2057- 2064.

Walker, E. R., McGee, R. E., & Druss, B. G. (2015). Mortality in mental disorders and global disease burden implications: a systematic review and meta-analysis. JAMA Psychiatry, 72(4), 334-341. WHO (2016). Maternal, newborn, child and adolescent health. Diunduh 01 Agustus 2022 dari http://www.who.int/maternal_child_adol escent/topics/adolescence/mental_health/ en/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these <abbr title="HyperText Markup Language">HTML</abbr> tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*

Hi, How Can We Help You?
icon call center
Home Care
081337313044
icon call center
Call Center
(0361) 954573
icon call center
On Call/Alarm Center
081390249270